CIREBON
Kota ini berada di pesisir utara Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya.
GEOGRAFI
Kota Cirebon terletak pada
6°41′LU 108°33′BT pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8
kilometer, Utara ke Selatan 11 kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut
5 meter (termasuk dataran rendah). Kota Cirebon dapat ditempuh
melalui jalan darat sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan
258 km dari arah Kota Jakarta.
![http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/55/WMA_button2b.png/17px-WMA_button2b.png](file:///C:\Users\Ifoell\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.png)
Kota Cirebon terletak pada lokasi
yang strategis dan menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang berada di wilayah
pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas
dibandingkan dengan wilayah perbukitannya. Luas Kota Cirebon adalah 37,54 km2
dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian
(38%).
Wilayah Kotamadya Cirebon Sebelah
Utara dibatasi Sungai
Kedung Pane, Sebelah Barat dibatasi Sungai Banjir Kanal, Kabupaten Cirebon, Sebelah Selatan dibatasi Sungai
Kalijaga, Sebelah Timur dibatasi Laut Jawa.
Sebagian besar wilayah merupakan
dataran rendah dengan ketinggian antara 0-2000 dpl, sementara kemiringan lereng
antara 0-40 % dimana 0-3 % merupakan daerah berkarateristik kota,
3-25 % daerah transmisi dan 25-40 % merupakan pinggiran.
Kota ini dilalui oleh beberapa
sungai di antaranya Sungai
Kedung Pane, Sungai
Sukalila, Sungai
Kesunean, dan Sungai
Kalijaga.
KEBUDAYAAN CIREBON
Cirebon sebagai daerah pantai Utara
Pulau Jawa bagian Barat dalam konteks sejarahnya terbukti mampu melahirkan
kebudayaan yang berangkat dari nilai tradisi dan agama. Tak pelak kesenian yang
mengiringi kebudayaan Cirebon memasukkan unsur-unsur agama di dalamnya. Dalam
kaitan ini kesenian yang pada mulanya merupakan sarana dakwah agama (Islam)
menjadi semacam oase di padang gurun. Betapa tidak. Syekh Syarif Hidayatullah
yang juga dikenal dengan nama Sunan Gunungjati bermukim di Cirebon
mengembangkan agama melalui pendekatan kultural.
Kebudayaan Cirebon yang bukan Jawa dan bukan Sunda itu akhirnya
memiliki ciri khas sendiri. Yakni adanya keberanian untuk mengadopsi nilai lama
dengan nilai baru (saat itu) saat agama Islam mulai diajarkan Sunan Gunungjati.
Dalam pentas kesenian panggung, asimilasi budaya terlihat jelas. Nilai budaya
masyarakat pantai dipadukan dengan nilai agama. Tak heran jika kenyataan ini
mengundang nilai tambah yang patut disyukuri. Artinya postmodernis sudah
berlangsung dalam kesenian tradisi Cirebon. Keberanian seniman tradisi
memasukkan unsur baru (ajaran agama Islam) pada kesenian lokal agaknya sepadan
dengan nilai posmo.
BUDAYA Cirebon yang kabarnya merupakan budaya serapan Jawa
(Kerajaan Mataram) dan Sunda (Kerajaan Sunda Kalapa) itu menempati posisi unik.
Dua budaya besar di pulau Jawa itu bertemu di Cirebon. Budaya serapan itu pun
makin lengkap bersintesa dengan spiritualitas Islam. Inilah keberbagaian budaya
Cirebon. Dan keberbagaian tadi mengisi ruang kesenian lokal. Dari sinilah
kemudian muncul seniman rakyat. Seniman yang asik berkarya tanpa terpaku pada
intruksi sutradara, sementara ketika tidak manggung mereka menjalani profesi
kesehariannya.
Masalah yang terus mengganjal dalam perkembangan budaya Cirebon
antara lain (dan ini yang terkuat) ialah keengganan para pemilik kebudayaan itu
memelihara dan merasa nyaman dengan kebudayaannya. Kini generasi muda banyak
berpaling ke budaya lain yang lebih instan serta kurang mampu mencintai
kebudayaannya sendiri. Budaya-budaya instan lengkap dengan berbagai kemudahan
dan aksesorinya memukau sejumlah anak muda. Ciri tersebut tampak pada
ketidakmampuan berbahasa Cirebon, dan jika mampu itu pun hanya sebatas bahasa
pergaulan yang dikenal dengan istilah bagongan. Kirik dan
ketek, serta ira dan isun tanpa mengenal kosa kata halus memang masih ada dan
terdengar dalam percakapan anak-anak muda. Namun sama sekali abai dengan
keseniannya, dan lebih luas dengan kebudayaannya sendiri yang telah mengalami
berbagai hantaman zaman. Anak-anak muda telah berpaling ke budaya pop.
Jikalau keadaan ini tidak segera dibenahi, ada kekhawatiran
anak-anak muda itu akan terasing dari kebudayaannya. Dan segera setelah itu
mereka akan beranggapan bahwa budaya Cirebon cukuplah diletakkan di museum,
atau sekadar ada ketika dibincangkan budayawan tua di ruang seminar.
Keterasingan terhadap kebudayaan sendiri pada gilirannya akan menghempas
kebudayaan pada kondisi yang menguntungkan. Kebudayaan bagai sebuah nilai lama
yang layak ditinggalkan lantas digantikan kebudayaan baru yang lebih mampu
menawarkan subjektivitas.
ACARA ADAT ISTIADAT CIREBON
Ritual mapag sri misalnya. Sesaat menjelang menanam padi di sawah, para
petani mempersembahkan rasa syukur kepada Tuhan karena alam telah demikian
berdamai memberikan panen. Dewi Sri sebagaimana diketahui adalah penjelmaan
dewi padi yang bertugas antara lain menyuburkan tanah pertanian sehingga padi
tumbuh dengan sempurna. Adaptasi budaya Hindu dengan ajaran Islam sebelum
menanam padi, kini semakin jarang terlihat. Teknologi dan mesin telah
menyingkirkan mapag sri.
Panjang Jimat Tradisi Maulid Nabi di Keraton
Cirebon Sejak zaman Khalifah Sholahudin Al Ayubi 1993 M, peringatan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW atau maulid Nabi kerap di istimewakan. Tujuannya,
tidak lain untuk mengenang dan selalu meneladani nabi Muhammad SAW.
KARYA SENI KHAS CIREBON
Batik Trusmi Cirebon merupakan batik khas dari
daerah trusmi di Cirebon. Motif mega mendung merupakan motif yang paling
diminati dan paling populer.
Glass Painting atau Lukisan
Kaca Adalah seni melukis diatas permukaan kaca, dimana pelukis
langsung melukis dipermukaan gelas/cermin atau media kaca.
KULINER KHAS CIREBON
Nasi Jamblang adalah makanan khas dari Cirebon, Jawa Barat.
Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat kota Cirebon tempat asal pedagang makanan tersebut. Ciri khas
makanan ini adalah penggunaan daun Jati sebagai bungkus nasi. Penyajian makanannya pun bersifat prasmanan.
Empal gentong adalah makanan khas masyarakat Cirebon, Jawa Barat. Makanan ini
mirip dengan gulai (gule) dan dimasak menggunakan kayu bakar (pohon mangga) di
dalam gentong (periuk tanah liat). Daging yang digunakan adalah usus, babat dan
daging sapi.
Tahu Gejrot adalah makanan khas Cirebon, Indonesia. Tahu gejrot terdiri dari
tahu yang sudah digoreng kemudian dipotong agak kecil lalu dimakan dengan kuah
yang bumbunya cabe, bawang merah, gula. Biasanya disajikan di layah kecil. atau
coet, biasanya pedagang menjajagan dagangannya dengan menggunakan sepeda.
DAFTAR PUSTAKA
http://kebudayaanindonesia.net/
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/
http://radarcirebon.com/
http://www.batikestumulyo.com/
http://tipsberwisatamurah.com/